Mas,
Rani kuliah dulu ya, pulangnya sekitar jam satu siang. Makan siang sudah Rani
siapkan di meja makan.
Terpaksa
aku mengirimkan SMS pada Mas Revan, yang sudah menjadi suamiku sejak enam bulan
yang lalu. Tetapi, aku tetap merasa seperti belum menikah. Di awal pernikahan,
aku meneleponnya untuk meminta izin keluar karena ia jarang di rumah. Sekarang
ia tidak mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika ponselnya tidak
aktif, aku hanya bisa mengirimkan pesan di mailbox-nya.
“Huft!
Kenapa Mas Revan menganggapku tidak ada?” aku bertanya dalam hati. Aku sama
sekali tidak konsentrasi saat ini, padahal Ibu Sitorus sedang memberikan kuliah
Membuat Busana Wanita, mata kuliah favoritku. Ternyata ada untungnya juga aku
mengambil jurusan Tata Busana, aku bisa menerima pesanan pakaian untuk mengisi
waktu senggangku. Sekaligus mengalihkan pikiranku tentang suami yang
mengabaikanku. Mas Revan selalu berangkat bekerja saat pagi untuk menggantikan
posisi ayahnya di kantor, sejak ayahnya meninggal seminggu setelah pernikahan
kami. Hampir setiap hari ia pulang jam delapan malam, kadang-kadang ia tidak
pulang. Aku tidak tahu ia tidur di mana, untuk menanyakannya aku tidak berani.
Pernah sekali kutanyakan, tapi ia tak acuh, berlalu begitu saja.
“”Sabar ya, Rani.”
Begitu nasihat Bu Wati, tetangga di depan rumahku.
“Ya,
Bu. Tapi sulit sekali rasanya. Kalau Mas Revan tidak menyukai Rani, kenapa ia
setuju dengan pernikahan kami? Apa lagi sampai
sekarang Mas Revan masih berhubungan sama pacarnya, Mbak Siwi,” keluhku pada Bu
Wati. Aku pernah beberapa kali mendengar Mas Revan mengobrol dengan Mbak Siwi
di telepon, mereka terdengar akrab. Sungguh, aku cemburu!
“Namanya
juga seorang anak, harus patuh pada orang tuanya. Mungkin begitu juga dengan
Revan, Rani. Apa lagi saat itu ayahnya sedang sekarat, apa mungkin ia menolak
permintaan terakhir ayahnya?”
“Tapi
Bu, Mas Revan sepertinya tidak ikhlas menjalani pernikahan ini.”
“Serahkan
semua pada Allah. Ingat Rani, rida orangtua itu adalah ridanya Allah. Kalau
Rani ikhlas menjalani ini semua karena benar-benar mematuhi perintah orang tua,
pasti Allah selalu menyertaimu. Lakukan saja kewajibanmu sebagai istri. Insya Allah
suatu saat nanti, Revan akan melihat ketulusanmu dan pada akhirnya ia bisa
menerimamu sebagai istrinya.”
“Amin
ya Allah….” Semoga apa yang dikatakan Bu Wati benar adanya. Doa itu juga yang
pasti kuselipkan dalam setiap sujudku. Memang pernikahan ini adalah tanda
baktiku pada Abi dan Ummi, aku ikhlas menjalani permintaan mereka.
Aku
sangat berterima kasih pada Bu Wati. Beliau sudah kuanggap seperti orang tuaku,
karena aku tinggal jauh dari orang tua dan ibu mertuaku. Beliau tidak
hanya memberikan nasihat tentang
pernikahan, tapi beliau juga sering memberi resep-resep makanan. Sehingga aku
tidak sulit melakukan tugas di dapur.
Malam
itu aku mendapat kabar kalau Mas Revan mengalami kecelakaan mobil bersama
kekasih barunya. Aku pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru. Alhamdulillah
Mas Revan selamat, tapi kaki kanannya mengalami patah tulang. Sedangkan
perempuan itu hanya mengalami luka kecil.
Selama
tiga bulan Mas Revan menjalani pengobatan dan terapi. Tetapi tidak sekalipun kekasihnya
itu datang menjenguk. Mungkin ia tidak berani karena ibu mertuaku murka mendapati
kenyataan kalau anaknya masih suka berhubungan dengan wanita lain. Ibu mertuaku
sampai meminta maaf padaku atas perbuatan anaknya. Aku bersyukur karena Allah
telah membuka rahasia Mas Revan selama ini dengan cara-Nya yang tidak pernah
terpikirkan olehku. Aku memohon pada keluarga Mas Revan agar tidak memberitahu
kalau suamiku mengalami kecelakaan dengan wanita lain. Aku tidak ingin
membebani pikiran orang tuaku.
Setelah
Mas Revan sembuh dan bisa berjalan, ia kembali bekerja seperti seelumnya. Mas
Revan masih saja cuek, walau tidak separah dulu. Mungkin ada hikmahnya juga Mas
Revan sakit, karena selama merawatnya mau tidak mau kami harus berkomunikasi.
Kini Mas Revan mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika di hari
libur, ia mau membantuku membersihkan rumah. Tak terbayangkan rasa senangku.
Tentang kelanjutan hubungannya dengan para kekasihnya, aku tidak mau
menanyakannya. Biarlah waktu yang akan menjawabnya dan Mas Revan bisa memilih
siapa yang terbaik untuk mendampinginya. Jika aku yang terpilih, tentulah aku
menjadi wanita paling berbahagia di dunia ini. Jika itu bukan aku, semoga Allah
memberikan kekuatan padaku untuk melepaskannya bersama wanita yang dicintainya.
Walaupun
hubunganku dengan Mas Revan ada kemajuan dan tidak lagi membuatku
memikirkannya, entah kenapa kepalaku malah sering terasa sakit. Memang sejak
SMA aku sering mengalaminya, tapi belakangan ini sakitnya bertambah parah
hingga mengganggu aktivitasku. Tidak jarang disertai mual dan muntah. Kalau
sudah begitu, aku cepat-cepat beristirahat.
***
Aku
masih ingat ketika kita datang ke rumah ibuku. Kau tiba-tiba merasa pusing dan
mual. Semua orang yang berkumpul di ruang keluarga malam itu terkejut melihatmu
berlari ke kamar mandi. Tapi, semua kepanikan itu berganti menjadi,
“Jangan-jangan
Rani hamil!” celetuk Mbak Tia, sepupuku.
“Apa?!”
aku terkejut mendengar celetukan Mbak Tia.
“Ah,
sepupuku bertambah satu lagi.” Keponakanku berceloteh dengan riangnya.
Tentu
saja aku bingung dengan apa yang terjadi. Selama pernikahan kita, aku tidak
pernah melakukan sesuatu yang membuatmu
hamil. Ah, ada apa ini?
“Tidak
apa-apa, Bu. Mungkin Rani hanya masuk angin, memang Rani tidak sarapan pagi
tadi.” Ucapanmu menenangkanku sekaligus
mengecewakan keluargaku yang berharap kamu segera mengandung. Tapi apakah kamu
bisa dikatakan hanya mengalami masuk angin, jika hal seperti tadi sering
terjadi padamu? Aku ingin membawamu ke rumah sakit malam itu juga, tapi kamu
menolak. Mungkin hanya kelelahan, itu
katamu.
Duh,
kalau aku mengingat semua itu aku merasa sangat menyesal.
***
Kepalaku
bertambah sakit dan konsentrasiku juga menurun. Ada apa ini? Aku ingin sekali memberi
tahu Mas Revan, tetapi apakah ia peduli? Lagi pula sudah seminggu ini ia pergi
ke luar kota.
Mas,
kapan pulang? SMS-ku selepas salat Isya malam itu.
Aku
pulang seminggu lagi. Begitu balasan dari Mas Revan.
Seminggu
lagi Mas, lama sekali? Apa tidak bisa pulang besok? Besok kan hari Minggu?
Aku mencoba membujuknya. Sungguh, akhir-akhir ini aku semakin merindukannya!
Tidak
bisa, Rani. Urusanku belum selesai. Aku pulang minggu depan.
Kecewa?
Pasti! Ya, sudahlah. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaannya. Kepalaku semakin sakit. Darah segar mengucur dari hidungku, memberi bercak
merah pada mukena putih yang kukenakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mencoba
berjalan menuju tempat tidur, tapi aku
terhuyung. Aku jatuh. Kepalaku membentur ujung meja.
“Astagfirullah!
Sakit!” jeritku.
Pandanganku
berkunang-kunang. Lalu semuanya tampak gelap.
***
“Sayang, kenapa kamu tidak mengatakan kalau
kamu sakit waktu itu? Kalau kamu mengatakannya, sesibuk apapun pekerjaanku
pasti aku akan pulang. Apa aku secuek itu, hingga kamu tidak mengatakannya?”
kuusap pipimu dengan rasa cinta yang baru saja bersemi di hatiku.
Aku
ingat ucapan dokter yang menanganimu
tadi pagi.
“Apa?!”
aku terperanjat. “Sinusitis Dokter?” tanyaku lagi, berharap kalau aku salah
dengar.
“Ya,
Sinusitis. Tapi tidak apa-apa, kami akan melakukan tindakan operasi kecil untuk
mebersihkan sinusitis-nya. Insya Allah setelah operasi, keadaan istri anda akan
segera sehat. Saat ini ia sedang tidur,” dokter menjelaskan keadaan Rani.
Aku
lega. Ibu menggenggam tanganku, saudara-saudaranya yang lain bergantian menepuk
pundakku untuk memberi semangat. Sedangkan orang tuamu
terduduk di kursi panjang di depan kamarmu. Ibumu mengucap syukur berulang
kali.
“Rani,
lihatlah. Semua orang bersedih, karena mereka sangat menyayangimu. Mereka
menunggumu bangun, Sayang. Begitu pun aku. Aku janji akan melakukan apapun yang
kamu minta. Aku akan menebus semua waktumu yang telah aku sia-siakan. Aku akan
menjadi suami yang terbaik untukmu, Sayang…. Ya Allah, berikanlah hamba
kesempatan untuk membahagiakannya. Amiin. Rani, maafkan aku. Karena selama ini
aku meragukan perasaanku sendiri. Aku mencintaimu.”