Selasa, 08 Oktober 2013

Cerpen: PENANTIAN CINTA (Bagian 2)



Mas, Rani kuliah dulu ya, pulangnya sekitar jam satu siang. Makan siang sudah Rani siapkan di meja makan.
Terpaksa aku mengirimkan SMS pada Mas Revan, yang sudah menjadi suamiku sejak enam bulan yang lalu. Tetapi, aku tetap merasa seperti belum menikah. Di awal pernikahan, aku meneleponnya untuk meminta izin keluar karena ia jarang di rumah. Sekarang ia tidak mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika ponselnya tidak aktif, aku hanya bisa mengirimkan pesan di mailbox-nya.
“Huft! Kenapa Mas Revan menganggapku tidak ada?” aku bertanya dalam hati. Aku sama sekali tidak konsentrasi saat ini, padahal Ibu Sitorus sedang memberikan kuliah Membuat Busana Wanita, mata kuliah favoritku. Ternyata ada untungnya juga aku mengambil jurusan Tata Busana, aku bisa menerima pesanan pakaian untuk mengisi waktu senggangku. Sekaligus mengalihkan pikiranku tentang suami yang mengabaikanku. Mas Revan selalu berangkat bekerja saat pagi untuk menggantikan posisi ayahnya di kantor, sejak ayahnya meninggal seminggu setelah pernikahan kami. Hampir setiap hari ia pulang jam delapan malam, kadang-kadang ia tidak pulang. Aku tidak tahu ia tidur di mana, untuk menanyakannya aku tidak berani. Pernah sekali kutanyakan, tapi ia tak acuh, berlalu begitu saja.
Sabar ya, Rani.” Begitu nasihat Bu Wati, tetangga di depan rumahku.
“Ya, Bu. Tapi sulit sekali rasanya. Kalau Mas Revan tidak menyukai Rani, kenapa ia setuju dengan pernikahan kami? Apa lagi sampai sekarang Mas Revan masih berhubungan sama pacarnya, Mbak Siwi,” keluhku pada Bu Wati. Aku pernah beberapa kali mendengar Mas Revan mengobrol dengan Mbak Siwi di telepon, mereka terdengar akrab. Sungguh, aku cemburu!
“Namanya juga seorang anak, harus patuh pada orang tuanya. Mungkin begitu juga dengan Revan, Rani. Apa lagi saat itu ayahnya sedang sekarat, apa mungkin ia menolak permintaan terakhir ayahnya?”
“Tapi Bu, Mas Revan sepertinya tidak ikhlas menjalani pernikahan ini.”
“Serahkan semua pada Allah. Ingat Rani, rida orangtua itu adalah ridanya Allah. Kalau Rani ikhlas menjalani ini semua karena benar-benar mematuhi perintah orang tua, pasti Allah selalu menyertaimu. Lakukan saja kewajibanmu sebagai istri. Insya Allah suatu saat nanti, Revan akan melihat ketulusanmu dan pada akhirnya ia bisa menerimamu sebagai istrinya.”
“Amin ya Allah….” Semoga apa yang dikatakan Bu Wati benar adanya. Doa itu juga yang pasti kuselipkan dalam setiap sujudku. Memang pernikahan ini adalah tanda baktiku pada Abi dan Ummi, aku ikhlas menjalani permintaan mereka.
Aku sangat berterima kasih pada Bu Wati. Beliau sudah kuanggap seperti orang tuaku, karena aku tinggal jauh dari orang tua dan ibu mertuaku. Beliau tidak hanya  memberikan nasihat tentang pernikahan, tapi beliau juga sering memberi resep-resep makanan. Sehingga aku tidak sulit melakukan tugas di dapur.
Malam itu aku mendapat kabar kalau Mas Revan mengalami kecelakaan mobil bersama kekasih barunya. Aku pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru. Alhamdulillah Mas Revan selamat, tapi kaki kanannya mengalami patah tulang. Sedangkan perempuan itu hanya mengalami luka kecil.
Selama tiga bulan Mas Revan menjalani pengobatan dan terapi. Tetapi tidak sekalipun kekasihnya itu datang menjenguk. Mungkin ia tidak berani karena ibu mertuaku murka mendapati kenyataan kalau anaknya masih suka berhubungan dengan wanita lain. Ibu mertuaku sampai meminta maaf padaku atas perbuatan anaknya. Aku bersyukur karena Allah telah membuka rahasia Mas Revan selama ini dengan cara-Nya yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memohon pada keluarga Mas Revan agar tidak memberitahu kalau suamiku mengalami kecelakaan dengan wanita lain. Aku tidak ingin membebani pikiran orang tuaku.
Setelah Mas Revan sembuh dan bisa berjalan, ia kembali bekerja seperti seelumnya. Mas Revan masih saja cuek, walau tidak separah dulu. Mungkin ada hikmahnya juga Mas Revan sakit, karena selama merawatnya mau tidak mau kami harus berkomunikasi. Kini Mas Revan mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika di hari libur, ia mau membantuku membersihkan rumah. Tak terbayangkan rasa senangku. Tentang kelanjutan hubungannya dengan para kekasihnya, aku tidak mau menanyakannya. Biarlah waktu yang akan menjawabnya dan Mas Revan bisa memilih siapa yang terbaik untuk mendampinginya. Jika aku yang terpilih, tentulah aku menjadi wanita paling berbahagia di dunia ini. Jika itu bukan aku, semoga Allah memberikan kekuatan padaku untuk melepaskannya bersama wanita yang dicintainya.
Walaupun hubunganku dengan Mas Revan ada kemajuan dan tidak lagi membuatku memikirkannya, entah kenapa kepalaku malah sering terasa sakit. Memang sejak SMA aku sering mengalaminya, tapi belakangan ini sakitnya bertambah parah hingga mengganggu aktivitasku. Tidak jarang disertai mual dan muntah. Kalau sudah begitu, aku cepat-cepat beristirahat.
***
Aku masih ingat ketika kita datang ke rumah ibuku. Kau tiba-tiba merasa pusing dan mual. Semua orang yang berkumpul di ruang keluarga malam itu terkejut melihatmu berlari ke kamar mandi. Tapi, semua kepanikan itu berganti menjadi,
“Jangan-jangan Rani hamil!” celetuk Mbak Tia, sepupuku.
“Apa?!” aku terkejut mendengar celetukan Mbak Tia.
“Ah, sepupuku bertambah satu lagi.” Keponakanku berceloteh dengan riangnya.
Tentu saja aku bingung dengan apa yang terjadi. Selama pernikahan kita, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang  membuatmu hamil. Ah, ada apa ini?
“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin Rani hanya masuk angin, memang Rani tidak sarapan pagi tadi.” Ucapanmu menenangkanku sekaligus mengecewakan keluargaku yang berharap kamu segera mengandung. Tapi apakah kamu bisa dikatakan hanya mengalami masuk angin, jika hal seperti tadi sering terjadi padamu? Aku ingin membawamu ke rumah sakit malam itu juga, tapi kamu menolak. Mungkin  hanya kelelahan, itu katamu.
Duh, kalau aku mengingat semua itu aku merasa sangat menyesal.
***
Kepalaku bertambah sakit dan konsentrasiku juga menurun. Ada apa ini? Aku ingin sekali memberi tahu Mas Revan, tetapi apakah ia peduli? Lagi pula sudah seminggu ini ia pergi ke luar kota.
Mas, kapan pulang? SMS-ku selepas salat Isya malam itu.
Aku pulang seminggu lagi. Begitu balasan dari Mas Revan.
Seminggu lagi Mas, lama sekali? Apa tidak bisa pulang besok? Besok kan hari Minggu? Aku mencoba membujuknya. Sungguh, akhir-akhir ini aku semakin merindukannya!
Tidak bisa, Rani. Urusanku belum selesai. Aku pulang minggu depan.
Kecewa? Pasti! Ya, sudahlah. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaannya.  Kepalaku semakin sakit. Darah  segar mengucur dari hidungku, memberi bercak merah pada mukena putih yang kukenakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mencoba berjalan  menuju tempat tidur, tapi aku terhuyung. Aku jatuh. Kepalaku membentur ujung meja.
“Astagfirullah! Sakit!” jeritku.
Pandanganku berkunang-kunang. Lalu semuanya tampak gelap.
***
  “Sayang, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu sakit waktu itu? Kalau kamu mengatakannya, sesibuk apapun pekerjaanku pasti aku akan pulang. Apa aku secuek itu, hingga kamu tidak mengatakannya?” kuusap pipimu dengan rasa cinta yang baru saja bersemi di hatiku.
Aku ingat ucapan dokter yang menanganimu  tadi pagi.
“Apa?!” aku terperanjat. “Sinusitis Dokter?” tanyaku lagi, berharap kalau aku salah dengar.
“Ya, Sinusitis. Tapi tidak apa-apa, kami akan melakukan tindakan operasi kecil untuk mebersihkan sinusitis-nya. Insya Allah setelah operasi, keadaan istri anda akan segera sehat. Saat ini ia sedang tidur,” dokter menjelaskan keadaan Rani.
Aku lega. Ibu menggenggam tanganku, saudara-saudaranya yang lain bergantian menepuk pundakku untuk memberi semangat. Sedangkan orang tuamu terduduk di kursi panjang di depan kamarmu. Ibumu mengucap syukur berulang kali.
 “Rani, lihatlah. Semua orang bersedih, karena mereka sangat menyayangimu. Mereka menunggumu bangun, Sayang. Begitu pun aku. Aku janji akan melakukan apapun yang kamu minta. Aku akan menebus semua waktumu yang telah aku sia-siakan. Aku akan menjadi suami yang terbaik untukmu, Sayang…. Ya Allah, berikanlah hamba kesempatan untuk membahagiakannya. Amiin. Rani, maafkan aku. Karena selama ini aku meragukan perasaanku sendiri. Aku mencintaimu.”


<< Bagian 1
                                                                                                    >> Bagian 3


 

Rabu, 02 Oktober 2013

Cerpen: PENANTIAN CINTA (Bagian 1)



Mas, Rani kuliah dulu ya, pulangnya sekitar jam satu siang. Makan siang sudah Rani siapkan di meja makan.
Terpaksa aku mengirimkan SMS pada Mas Revan, yang sudah menjadi suamiku sejak enam bulan yang lalu. Tetapi, aku tetap merasa seperti belum menikah. Di awal pernikahan, aku meneleponnya untuk meminta izin keluar karena ia jarang di rumah. Sekarang ia tidak mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika ponselnya tidak aktif, aku hanya bisa mengirimkan pesan di mailbox-nya.
“Huft! Kenapa Mas Revan menganggapku tidak ada?” aku bertanya dalam hati. Aku sama sekali tidak konsentrasi saat ini, padahal Ibu Sitorus sedang memberikan kuliah Membuat Busana Wanita, mata kuliah favoritku. Ternyata ada untungnya juga aku mengambil jurusan Tata Busana, aku bisa menerima pesanan pakaian untuk mengisi waktu senggangku. Sekaligus mengalihkan pikiranku tentang suami yang mengabaikanku. Mas Revan selalu berangkat bekerja saat pagi untuk menggantikan posisi ayahnya di kantor, sejak ayahnya meninggal seminggu setelah pernikahan kami. Hampir setiap hari ia pulang jam delapan malam, kadang-kadang ia tidak pulang. Aku tidak tahu ia tidur di mana, untuk menanyakannya aku tidak berani. Pernah sekali kutanyakan, tapi ia tak acuh, berlalu begitu saja.
Sabar ya, Rani.” Begitu nasihat Bu Wati, tetangga di depan rumahku.
“Ya, Bu. Tapi sulit sekali rasanya. Kalau Mas Revan tidak menyukai Rani, kenapa ia setuju dengan pernikahan kami? Apa lagi sampai sekarang Mas Revan masih berhubungan sama pacarnya, Mbak Siwi,” keluhku pada Bu Wati. Aku pernah beberapa kali mendengar Mas Revan mengobrol dengan Mbak Siwi di telepon, mereka terdengar akrab. Sungguh, aku cemburu!
“Namanya juga seorang anak, harus patuh pada orang tuanya. Mungkin begitu juga dengan Revan, Rani. Apa lagi saat itu ayahnya sedang sekarat, apa mungkin ia menolak permintaan terakhir ayahnya?”
“Tapi Bu, Mas Revan sepertinya tidak ikhlas menjalani pernikahan ini.”
“Serahkan semua pada Allah. Ingat Rani, rida orangtua itu adalah ridanya Allah. Kalau Rani ikhlas menjalani ini semua karena benar-benar mematuhi perintah orang tua, pasti Allah selalu menyertaimu. Lakukan saja kewajibanmu sebagai istri. Insya Allah suatu saat nanti, Revan akan melihat ketulusanmu dan pada akhirnya ia bisa menerimamu sebagai istrinya.”
“Amin ya Allah….” Semoga apa yang dikatakan Bu Wati benar adanya. Doa itu juga yang pasti kuselipkan dalam setiap sujudku. Memang pernikahan ini adalah tanda baktiku pada Abi dan Ummi, aku ikhlas menjalani permintaan mereka.
Aku sangat berterima kasih pada Bu Wati. Beliau sudah kuanggap seperti orang tuaku, karena aku tinggal jauh dari orang tua dan ibu mertuaku. Beliau tidak hanya  memberikan nasihat tentang pernikahan, tapi beliau juga sering memberi resep-resep makanan. Sehingga aku tidak sulit melakukan tugas di dapur.
Malam itu aku mendapat kabar kalau Mas Revan mengalami kecelakaan mobil bersama kekasih barunya. Aku pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru. Alhamdulillah Mas Revan selamat, tapi kaki kanannya mengalami patah tulang. Sedangkan perempuan itu hanya mengalami luka kecil.
Selama tiga bulan Mas Revan menjalani pengobatan dan terapi. Tetapi tidak sekalipun kekasihnya itu datang menjenguk. Mungkin ia tidak berani karena ibu mertuaku murka mendapati kenyataan kalau anaknya masih suka berhubungan dengan wanita lain. Ibu mertuaku sampai meminta maaf padaku atas perbuatan anaknya. Aku bersyukur karena Allah telah membuka rahasia Mas Revan selama ini dengan cara-Nya yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memohon pada keluarga Mas Revan agar tidak memberitahu kalau suamiku mengalami kecelakaan dengan wanita lain. Aku tidak ingin membebani pikiran orang tuaku.
Setelah Mas Revan sembuh dan bisa berjalan, ia kembali bekerja seperti seelumnya. Mas Revan masih saja cuek, walau tidak separah dulu. Mungkin ada hikmahnya juga Mas Revan sakit, karena selama merawatnya mau tidak mau kami harus berkomunikasi. Kini Mas Revan mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika di hari libur, ia mau membantuku membersihkan rumah. Tak terbayangkan rasa senangku. Tentang kelanjutan hubungannya dengan para kekasihnya, aku tidak mau menanyakannya. Biarlah waktu yang akan menjawabnya dan Mas Revan bisa memilih siapa yang terbaik untuk mendampinginya. Jika aku yang terpilih, tentulah aku menjadi wanita paling berbahagia di dunia ini. Jika itu bukan aku, semoga Allah memberikan kekuatan padaku untuk melepaskannya bersama wanita yang dicintainya.
Walaupun hubunganku dengan Mas Revan ada kemajuan dan tidak lagi membuatku memikirkannya, entah kenapa kepalaku malah sering terasa sakit. Memang sejak SMA aku sering mengalaminya, tapi belakangan ini sakitnya bertambah parah hingga mengganggu aktivitasku. Tidak jarang disertai mual dan muntah. Kalau sudah begitu, aku cepat-cepat beristirahat.
***
Aku masih ingat ketika kita datang ke rumah ibuku. Kau tiba-tiba merasa pusing dan mual. Semua orang yang berkumpul di ruang keluarga malam itu terkejut melihatmu berlari ke kamar mandi. Tapi, semua kepanikan itu berganti menjadi,
“Jangan-jangan Rani hamil!” celetuk Mbak Tia, sepupuku.
“Apa?!” aku terkejut mendengar celetukan Mbak Tia.
“Ah, sepupuku bertambah satu lagi.” Keponakanku berceloteh dengan riangnya.
Tentu saja aku bingung dengan apa yang terjadi. Selama pernikahan kita, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang  membuatmu hamil. Ah, ada apa ini?
“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin Rani hanya masuk angin, memang Rani tidak sarapan pagi tadi.” Ucapanmu menenangkanku sekaligus mengecewakan keluargaku yang berharap kamu segera mengandung. Tapi apakah kamu bisa dikatakan hanya mengalami masuk angin, jika hal seperti tadi sering terjadi padamu? Aku ingin membawamu ke rumah sakit malam itu juga, tapi kamu menolak. Mungkin  hanya kelelahan, itu katamu.
Duh, kalau aku mengingat semua itu aku merasa sangat menyesal.
***
Kepalaku bertambah sakit dan konsentrasiku juga menurun. Ada apa ini? Aku ingin sekali memberi tahu Mas Revan, tetapi apakah ia peduli? Lagi pula sudah seminggu ini ia pergi ke luar kota.
Mas, kapan pulang? SMS-ku selepas salat Isya malam itu.
Aku pulang seminggu lagi. Begitu balasan dari Mas Revan.
Seminggu lagi Mas, lama sekali? Apa tidak bisa pulang besok? Besok kan hari Minggu? Aku mencoba membujuknya. Sungguh, akhir-akhir ini aku semakin merindukannya!
Tidak bisa, Rani. Urusanku belum selesai. Aku pulang minggu depan.
Kecewa? Pasti! Ya, sudahlah. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaannya.  Kepalaku semakin sakit. Darah  segar mengucur dari hidungku, memberi bercak merah pada mukena putih yang kukenakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mencoba berjalan  menuju tempat tidur, tapi aku terhuyung. Aku jatuh. Kepalaku membentur ujung meja.
“Astagfirullah! Sakit!” jeritku.
Pandanganku berkunang-kunang. Lalu semuanya tampak gelap.
***
  “Sayang, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu sakit waktu itu? Kalau kamu mengatakannya, sesibuk apapun pekerjaanku pasti aku akan pulang. Apa aku secuek itu, hingga kamu tidak mengatakannya?” kuusap pipimu dengan rasa cinta yang baru saja bersemi di hatiku.
Aku ingat ucapan dokter yang menanganimu  tadi pagi.
“Apa?!” aku terperanjat. “Sinusitis Dokter?” tanyaku lagi, berharap kalau aku salah dengar.
“Ya, Sinusitis. Tapi tidak apa-apa, kami akan melakukan tindakan operasi kecil untuk mebersihkan sinusitis-nya. Insya Allah setelah operasi, keadaan istri anda akan segera sehat. Saat ini ia sedang tidur,” dokter menjelaskan keadaan Rani.
Aku lega. Ibu menggenggam tanganku, saudara-saudaranya yang lain bergantian menepuk pundakku untuk memberi semangat. Sedangkan orang tuamu terduduk di kursi panjang di depan kamarmu. Ibumu mengucap syukur berulang kali.
 “Rani, lihatlah. Semua orang bersedih, karena mereka sangat menyayangimu. Mereka menunggumu bangun, Sayang. Begitu pun aku. Aku janji akan melakukan apapun yang kamu minta. Aku akan menebus semua waktumu yang telah aku sia-siakan. Aku akan menjadi suami yang terbaik untukmu, Sayang…. Ya Allah, berikanlah hamba kesempatan untuk membahagiakannya. Amiin. Rani, maafkan aku. Karena selama ini aku meragukan perasaanku sendiri. Aku mencintaimu.”