Sabtu, 28 Desember 2013

OLGA, OH ... OLGA

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Met malam, Sahabat.
Apa kabar?

Belakangan ini, hampir setiap malam kami nonton YKS (Yuk Keep Smile) di Trans TV.
Sahabat semua pasti tau kan acara itu?
Wuakaka, lucu kali lah!

Ada beberapa hal yang kuperhatikan dalam acara itu, salah satunya ya Olga. Jangankan dia ngebanyol, lihat mukanya aja aku dah geli. (Maaf ya Kak Olga, hehehe, tapi suer deh, lucu! Ya, walaupun pernah kesandung masalah gara-gara lawakannya, mudah-mudahan Kak Olga selalu memperbaiki diri dan semakin sukses di masa yang akan datang).

Olga memang salah satu komedian yang membuat acara itu sukses. Tapi, di sini aku tidak membicarakan acara YKS, pasti banyak Sahabat yang sudah membahas acara itu. Tulisan ini berfokus pada Olga dan tentunya aku. Hehehe.

Aku semakin tersepona, eh terpesona dan kagum pas lihat acara Olga yang lain lagi, yang itu tuh, membantu orang-orang yang susah dan sangat membutuhkan bantuan, Catatan Si Olga. Bahagia kali kalau bisa membantu banyak orang, ya? Mungkin itu juga yang dirasakan Olga.

Kadang-kadang aku mengkhayal tuh bisa jadi kayak Olga (Mana bisa kaleee! Kau kan cewek, Dinda! Hehehe), bisa membantu banyak orang. Apalagi bisa satu acara sama Olga dalam hal membantu orang, judul acaranya mungkin "Catatan Olga dan Dinda". Wuakakaka, mengkhayal aja lah kau, Dinda! Hahaha! Maap yeee, Kak Olga!

Tapi, secepatnya aku nyadar diri. Kan, aku nggak punya banyak duit kayak Olga. Wah, jauh kali perbandingannya, kayak langit dan bumi. Aku langitnya dan Olga buminya (PLAK! Adoooh! Kena gampar Kak Olga!Ampooon Kak!) Tentu aja Olga langitnya dan aku buminya.

Ya, udah deh. Terima nasib aja lah. Eits, tunggu dulu! Tetap usaha dong. Siapa tau di masa mendatang Allah Yang Maha Pemberi Rezeki berkehendak memberikan rezeki yang luas dan kesempatan yang banyak untukku membantu banyak orang, kayak Olga, aamiin....

(Membayangkan Si Mamak ngomel, "Kayak mana kau mau bantu banyak orang? Bantuin Mamak nyuci piring aja kau nggak mau! Pergi sana nyuci piring! Jangan asik ngeblog aja kau!") Wuakakaka.

Jadi, segini aja lah dulu ya, dari pada kena repet sama Mamakku, hehehe. 
Insya Allah besok-besok kusambung lagi.
Buat Kak Olga, semoga makin, makin dan makin sukses!

Wassalam.
:)

Rabu, 06 November 2013

PENGEN BUAT GIVE AWAY

Assalamualaikum Sahabat.

Pagi-pagi ngeblog, tapi nggak tau mau nulis apa. Keliling-keliling di blog favorit, ternyata ada banyak yang ngadakan give away. Mau ikut tapi nggak pede. Malah kepikiran pengen buat acara give away di blog-ku ini.

Sebenarnya udah lama aku pengen buat acara give away, tapi masih bingung temanya apa dan mau ngasih apa untuk hadiahnya. Sahabat ada saran?

Pengennya ngasih hadiah paket aksesoris yang aku buat, tapi banyak yang berminat nggak, ya?
Atau hadiah buku atau novel aja? Iih, bingung ah!

Ya udahlah, biar kupikir-pikir dulu tema dan hadiahnya. Kalau Sahabat ada ngasih saran, dipersilakan dengan hormat. :)

Wassalam.

Selasa, 08 Oktober 2013

Cerpen: PENANTIAN CINTA (Bagian 2)



Mas, Rani kuliah dulu ya, pulangnya sekitar jam satu siang. Makan siang sudah Rani siapkan di meja makan.
Terpaksa aku mengirimkan SMS pada Mas Revan, yang sudah menjadi suamiku sejak enam bulan yang lalu. Tetapi, aku tetap merasa seperti belum menikah. Di awal pernikahan, aku meneleponnya untuk meminta izin keluar karena ia jarang di rumah. Sekarang ia tidak mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika ponselnya tidak aktif, aku hanya bisa mengirimkan pesan di mailbox-nya.
“Huft! Kenapa Mas Revan menganggapku tidak ada?” aku bertanya dalam hati. Aku sama sekali tidak konsentrasi saat ini, padahal Ibu Sitorus sedang memberikan kuliah Membuat Busana Wanita, mata kuliah favoritku. Ternyata ada untungnya juga aku mengambil jurusan Tata Busana, aku bisa menerima pesanan pakaian untuk mengisi waktu senggangku. Sekaligus mengalihkan pikiranku tentang suami yang mengabaikanku. Mas Revan selalu berangkat bekerja saat pagi untuk menggantikan posisi ayahnya di kantor, sejak ayahnya meninggal seminggu setelah pernikahan kami. Hampir setiap hari ia pulang jam delapan malam, kadang-kadang ia tidak pulang. Aku tidak tahu ia tidur di mana, untuk menanyakannya aku tidak berani. Pernah sekali kutanyakan, tapi ia tak acuh, berlalu begitu saja.
Sabar ya, Rani.” Begitu nasihat Bu Wati, tetangga di depan rumahku.
“Ya, Bu. Tapi sulit sekali rasanya. Kalau Mas Revan tidak menyukai Rani, kenapa ia setuju dengan pernikahan kami? Apa lagi sampai sekarang Mas Revan masih berhubungan sama pacarnya, Mbak Siwi,” keluhku pada Bu Wati. Aku pernah beberapa kali mendengar Mas Revan mengobrol dengan Mbak Siwi di telepon, mereka terdengar akrab. Sungguh, aku cemburu!
“Namanya juga seorang anak, harus patuh pada orang tuanya. Mungkin begitu juga dengan Revan, Rani. Apa lagi saat itu ayahnya sedang sekarat, apa mungkin ia menolak permintaan terakhir ayahnya?”
“Tapi Bu, Mas Revan sepertinya tidak ikhlas menjalani pernikahan ini.”
“Serahkan semua pada Allah. Ingat Rani, rida orangtua itu adalah ridanya Allah. Kalau Rani ikhlas menjalani ini semua karena benar-benar mematuhi perintah orang tua, pasti Allah selalu menyertaimu. Lakukan saja kewajibanmu sebagai istri. Insya Allah suatu saat nanti, Revan akan melihat ketulusanmu dan pada akhirnya ia bisa menerimamu sebagai istrinya.”
“Amin ya Allah….” Semoga apa yang dikatakan Bu Wati benar adanya. Doa itu juga yang pasti kuselipkan dalam setiap sujudku. Memang pernikahan ini adalah tanda baktiku pada Abi dan Ummi, aku ikhlas menjalani permintaan mereka.
Aku sangat berterima kasih pada Bu Wati. Beliau sudah kuanggap seperti orang tuaku, karena aku tinggal jauh dari orang tua dan ibu mertuaku. Beliau tidak hanya  memberikan nasihat tentang pernikahan, tapi beliau juga sering memberi resep-resep makanan. Sehingga aku tidak sulit melakukan tugas di dapur.
Malam itu aku mendapat kabar kalau Mas Revan mengalami kecelakaan mobil bersama kekasih barunya. Aku pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru. Alhamdulillah Mas Revan selamat, tapi kaki kanannya mengalami patah tulang. Sedangkan perempuan itu hanya mengalami luka kecil.
Selama tiga bulan Mas Revan menjalani pengobatan dan terapi. Tetapi tidak sekalipun kekasihnya itu datang menjenguk. Mungkin ia tidak berani karena ibu mertuaku murka mendapati kenyataan kalau anaknya masih suka berhubungan dengan wanita lain. Ibu mertuaku sampai meminta maaf padaku atas perbuatan anaknya. Aku bersyukur karena Allah telah membuka rahasia Mas Revan selama ini dengan cara-Nya yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memohon pada keluarga Mas Revan agar tidak memberitahu kalau suamiku mengalami kecelakaan dengan wanita lain. Aku tidak ingin membebani pikiran orang tuaku.
Setelah Mas Revan sembuh dan bisa berjalan, ia kembali bekerja seperti seelumnya. Mas Revan masih saja cuek, walau tidak separah dulu. Mungkin ada hikmahnya juga Mas Revan sakit, karena selama merawatnya mau tidak mau kami harus berkomunikasi. Kini Mas Revan mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika di hari libur, ia mau membantuku membersihkan rumah. Tak terbayangkan rasa senangku. Tentang kelanjutan hubungannya dengan para kekasihnya, aku tidak mau menanyakannya. Biarlah waktu yang akan menjawabnya dan Mas Revan bisa memilih siapa yang terbaik untuk mendampinginya. Jika aku yang terpilih, tentulah aku menjadi wanita paling berbahagia di dunia ini. Jika itu bukan aku, semoga Allah memberikan kekuatan padaku untuk melepaskannya bersama wanita yang dicintainya.
Walaupun hubunganku dengan Mas Revan ada kemajuan dan tidak lagi membuatku memikirkannya, entah kenapa kepalaku malah sering terasa sakit. Memang sejak SMA aku sering mengalaminya, tapi belakangan ini sakitnya bertambah parah hingga mengganggu aktivitasku. Tidak jarang disertai mual dan muntah. Kalau sudah begitu, aku cepat-cepat beristirahat.
***
Aku masih ingat ketika kita datang ke rumah ibuku. Kau tiba-tiba merasa pusing dan mual. Semua orang yang berkumpul di ruang keluarga malam itu terkejut melihatmu berlari ke kamar mandi. Tapi, semua kepanikan itu berganti menjadi,
“Jangan-jangan Rani hamil!” celetuk Mbak Tia, sepupuku.
“Apa?!” aku terkejut mendengar celetukan Mbak Tia.
“Ah, sepupuku bertambah satu lagi.” Keponakanku berceloteh dengan riangnya.
Tentu saja aku bingung dengan apa yang terjadi. Selama pernikahan kita, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang  membuatmu hamil. Ah, ada apa ini?
“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin Rani hanya masuk angin, memang Rani tidak sarapan pagi tadi.” Ucapanmu menenangkanku sekaligus mengecewakan keluargaku yang berharap kamu segera mengandung. Tapi apakah kamu bisa dikatakan hanya mengalami masuk angin, jika hal seperti tadi sering terjadi padamu? Aku ingin membawamu ke rumah sakit malam itu juga, tapi kamu menolak. Mungkin  hanya kelelahan, itu katamu.
Duh, kalau aku mengingat semua itu aku merasa sangat menyesal.
***
Kepalaku bertambah sakit dan konsentrasiku juga menurun. Ada apa ini? Aku ingin sekali memberi tahu Mas Revan, tetapi apakah ia peduli? Lagi pula sudah seminggu ini ia pergi ke luar kota.
Mas, kapan pulang? SMS-ku selepas salat Isya malam itu.
Aku pulang seminggu lagi. Begitu balasan dari Mas Revan.
Seminggu lagi Mas, lama sekali? Apa tidak bisa pulang besok? Besok kan hari Minggu? Aku mencoba membujuknya. Sungguh, akhir-akhir ini aku semakin merindukannya!
Tidak bisa, Rani. Urusanku belum selesai. Aku pulang minggu depan.
Kecewa? Pasti! Ya, sudahlah. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaannya.  Kepalaku semakin sakit. Darah  segar mengucur dari hidungku, memberi bercak merah pada mukena putih yang kukenakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mencoba berjalan  menuju tempat tidur, tapi aku terhuyung. Aku jatuh. Kepalaku membentur ujung meja.
“Astagfirullah! Sakit!” jeritku.
Pandanganku berkunang-kunang. Lalu semuanya tampak gelap.
***
  “Sayang, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu sakit waktu itu? Kalau kamu mengatakannya, sesibuk apapun pekerjaanku pasti aku akan pulang. Apa aku secuek itu, hingga kamu tidak mengatakannya?” kuusap pipimu dengan rasa cinta yang baru saja bersemi di hatiku.
Aku ingat ucapan dokter yang menanganimu  tadi pagi.
“Apa?!” aku terperanjat. “Sinusitis Dokter?” tanyaku lagi, berharap kalau aku salah dengar.
“Ya, Sinusitis. Tapi tidak apa-apa, kami akan melakukan tindakan operasi kecil untuk mebersihkan sinusitis-nya. Insya Allah setelah operasi, keadaan istri anda akan segera sehat. Saat ini ia sedang tidur,” dokter menjelaskan keadaan Rani.
Aku lega. Ibu menggenggam tanganku, saudara-saudaranya yang lain bergantian menepuk pundakku untuk memberi semangat. Sedangkan orang tuamu terduduk di kursi panjang di depan kamarmu. Ibumu mengucap syukur berulang kali.
 “Rani, lihatlah. Semua orang bersedih, karena mereka sangat menyayangimu. Mereka menunggumu bangun, Sayang. Begitu pun aku. Aku janji akan melakukan apapun yang kamu minta. Aku akan menebus semua waktumu yang telah aku sia-siakan. Aku akan menjadi suami yang terbaik untukmu, Sayang…. Ya Allah, berikanlah hamba kesempatan untuk membahagiakannya. Amiin. Rani, maafkan aku. Karena selama ini aku meragukan perasaanku sendiri. Aku mencintaimu.”


<< Bagian 1
                                                                                                    >> Bagian 3


 

Rabu, 02 Oktober 2013

Cerpen: PENANTIAN CINTA (Bagian 1)



Mas, Rani kuliah dulu ya, pulangnya sekitar jam satu siang. Makan siang sudah Rani siapkan di meja makan.
Terpaksa aku mengirimkan SMS pada Mas Revan, yang sudah menjadi suamiku sejak enam bulan yang lalu. Tetapi, aku tetap merasa seperti belum menikah. Di awal pernikahan, aku meneleponnya untuk meminta izin keluar karena ia jarang di rumah. Sekarang ia tidak mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika ponselnya tidak aktif, aku hanya bisa mengirimkan pesan di mailbox-nya.
“Huft! Kenapa Mas Revan menganggapku tidak ada?” aku bertanya dalam hati. Aku sama sekali tidak konsentrasi saat ini, padahal Ibu Sitorus sedang memberikan kuliah Membuat Busana Wanita, mata kuliah favoritku. Ternyata ada untungnya juga aku mengambil jurusan Tata Busana, aku bisa menerima pesanan pakaian untuk mengisi waktu senggangku. Sekaligus mengalihkan pikiranku tentang suami yang mengabaikanku. Mas Revan selalu berangkat bekerja saat pagi untuk menggantikan posisi ayahnya di kantor, sejak ayahnya meninggal seminggu setelah pernikahan kami. Hampir setiap hari ia pulang jam delapan malam, kadang-kadang ia tidak pulang. Aku tidak tahu ia tidur di mana, untuk menanyakannya aku tidak berani. Pernah sekali kutanyakan, tapi ia tak acuh, berlalu begitu saja.
Sabar ya, Rani.” Begitu nasihat Bu Wati, tetangga di depan rumahku.
“Ya, Bu. Tapi sulit sekali rasanya. Kalau Mas Revan tidak menyukai Rani, kenapa ia setuju dengan pernikahan kami? Apa lagi sampai sekarang Mas Revan masih berhubungan sama pacarnya, Mbak Siwi,” keluhku pada Bu Wati. Aku pernah beberapa kali mendengar Mas Revan mengobrol dengan Mbak Siwi di telepon, mereka terdengar akrab. Sungguh, aku cemburu!
“Namanya juga seorang anak, harus patuh pada orang tuanya. Mungkin begitu juga dengan Revan, Rani. Apa lagi saat itu ayahnya sedang sekarat, apa mungkin ia menolak permintaan terakhir ayahnya?”
“Tapi Bu, Mas Revan sepertinya tidak ikhlas menjalani pernikahan ini.”
“Serahkan semua pada Allah. Ingat Rani, rida orangtua itu adalah ridanya Allah. Kalau Rani ikhlas menjalani ini semua karena benar-benar mematuhi perintah orang tua, pasti Allah selalu menyertaimu. Lakukan saja kewajibanmu sebagai istri. Insya Allah suatu saat nanti, Revan akan melihat ketulusanmu dan pada akhirnya ia bisa menerimamu sebagai istrinya.”
“Amin ya Allah….” Semoga apa yang dikatakan Bu Wati benar adanya. Doa itu juga yang pasti kuselipkan dalam setiap sujudku. Memang pernikahan ini adalah tanda baktiku pada Abi dan Ummi, aku ikhlas menjalani permintaan mereka.
Aku sangat berterima kasih pada Bu Wati. Beliau sudah kuanggap seperti orang tuaku, karena aku tinggal jauh dari orang tua dan ibu mertuaku. Beliau tidak hanya  memberikan nasihat tentang pernikahan, tapi beliau juga sering memberi resep-resep makanan. Sehingga aku tidak sulit melakukan tugas di dapur.
Malam itu aku mendapat kabar kalau Mas Revan mengalami kecelakaan mobil bersama kekasih barunya. Aku pergi ke rumah sakit dengan terburu-buru. Alhamdulillah Mas Revan selamat, tapi kaki kanannya mengalami patah tulang. Sedangkan perempuan itu hanya mengalami luka kecil.
Selama tiga bulan Mas Revan menjalani pengobatan dan terapi. Tetapi tidak sekalipun kekasihnya itu datang menjenguk. Mungkin ia tidak berani karena ibu mertuaku murka mendapati kenyataan kalau anaknya masih suka berhubungan dengan wanita lain. Ibu mertuaku sampai meminta maaf padaku atas perbuatan anaknya. Aku bersyukur karena Allah telah membuka rahasia Mas Revan selama ini dengan cara-Nya yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memohon pada keluarga Mas Revan agar tidak memberitahu kalau suamiku mengalami kecelakaan dengan wanita lain. Aku tidak ingin membebani pikiran orang tuaku.
Setelah Mas Revan sembuh dan bisa berjalan, ia kembali bekerja seperti seelumnya. Mas Revan masih saja cuek, walau tidak separah dulu. Mungkin ada hikmahnya juga Mas Revan sakit, karena selama merawatnya mau tidak mau kami harus berkomunikasi. Kini Mas Revan mau mengangkat telepon jika aku menghubunginya. Jika di hari libur, ia mau membantuku membersihkan rumah. Tak terbayangkan rasa senangku. Tentang kelanjutan hubungannya dengan para kekasihnya, aku tidak mau menanyakannya. Biarlah waktu yang akan menjawabnya dan Mas Revan bisa memilih siapa yang terbaik untuk mendampinginya. Jika aku yang terpilih, tentulah aku menjadi wanita paling berbahagia di dunia ini. Jika itu bukan aku, semoga Allah memberikan kekuatan padaku untuk melepaskannya bersama wanita yang dicintainya.
Walaupun hubunganku dengan Mas Revan ada kemajuan dan tidak lagi membuatku memikirkannya, entah kenapa kepalaku malah sering terasa sakit. Memang sejak SMA aku sering mengalaminya, tapi belakangan ini sakitnya bertambah parah hingga mengganggu aktivitasku. Tidak jarang disertai mual dan muntah. Kalau sudah begitu, aku cepat-cepat beristirahat.
***
Aku masih ingat ketika kita datang ke rumah ibuku. Kau tiba-tiba merasa pusing dan mual. Semua orang yang berkumpul di ruang keluarga malam itu terkejut melihatmu berlari ke kamar mandi. Tapi, semua kepanikan itu berganti menjadi,
“Jangan-jangan Rani hamil!” celetuk Mbak Tia, sepupuku.
“Apa?!” aku terkejut mendengar celetukan Mbak Tia.
“Ah, sepupuku bertambah satu lagi.” Keponakanku berceloteh dengan riangnya.
Tentu saja aku bingung dengan apa yang terjadi. Selama pernikahan kita, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang  membuatmu hamil. Ah, ada apa ini?
“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin Rani hanya masuk angin, memang Rani tidak sarapan pagi tadi.” Ucapanmu menenangkanku sekaligus mengecewakan keluargaku yang berharap kamu segera mengandung. Tapi apakah kamu bisa dikatakan hanya mengalami masuk angin, jika hal seperti tadi sering terjadi padamu? Aku ingin membawamu ke rumah sakit malam itu juga, tapi kamu menolak. Mungkin  hanya kelelahan, itu katamu.
Duh, kalau aku mengingat semua itu aku merasa sangat menyesal.
***
Kepalaku bertambah sakit dan konsentrasiku juga menurun. Ada apa ini? Aku ingin sekali memberi tahu Mas Revan, tetapi apakah ia peduli? Lagi pula sudah seminggu ini ia pergi ke luar kota.
Mas, kapan pulang? SMS-ku selepas salat Isya malam itu.
Aku pulang seminggu lagi. Begitu balasan dari Mas Revan.
Seminggu lagi Mas, lama sekali? Apa tidak bisa pulang besok? Besok kan hari Minggu? Aku mencoba membujuknya. Sungguh, akhir-akhir ini aku semakin merindukannya!
Tidak bisa, Rani. Urusanku belum selesai. Aku pulang minggu depan.
Kecewa? Pasti! Ya, sudahlah. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaannya.  Kepalaku semakin sakit. Darah  segar mengucur dari hidungku, memberi bercak merah pada mukena putih yang kukenakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku mencoba berjalan  menuju tempat tidur, tapi aku terhuyung. Aku jatuh. Kepalaku membentur ujung meja.
“Astagfirullah! Sakit!” jeritku.
Pandanganku berkunang-kunang. Lalu semuanya tampak gelap.
***
  “Sayang, kenapa kamu tidak mengatakan kalau kamu sakit waktu itu? Kalau kamu mengatakannya, sesibuk apapun pekerjaanku pasti aku akan pulang. Apa aku secuek itu, hingga kamu tidak mengatakannya?” kuusap pipimu dengan rasa cinta yang baru saja bersemi di hatiku.
Aku ingat ucapan dokter yang menanganimu  tadi pagi.
“Apa?!” aku terperanjat. “Sinusitis Dokter?” tanyaku lagi, berharap kalau aku salah dengar.
“Ya, Sinusitis. Tapi tidak apa-apa, kami akan melakukan tindakan operasi kecil untuk mebersihkan sinusitis-nya. Insya Allah setelah operasi, keadaan istri anda akan segera sehat. Saat ini ia sedang tidur,” dokter menjelaskan keadaan Rani.
Aku lega. Ibu menggenggam tanganku, saudara-saudaranya yang lain bergantian menepuk pundakku untuk memberi semangat. Sedangkan orang tuamu terduduk di kursi panjang di depan kamarmu. Ibumu mengucap syukur berulang kali.
 “Rani, lihatlah. Semua orang bersedih, karena mereka sangat menyayangimu. Mereka menunggumu bangun, Sayang. Begitu pun aku. Aku janji akan melakukan apapun yang kamu minta. Aku akan menebus semua waktumu yang telah aku sia-siakan. Aku akan menjadi suami yang terbaik untukmu, Sayang…. Ya Allah, berikanlah hamba kesempatan untuk membahagiakannya. Amiin. Rani, maafkan aku. Karena selama ini aku meragukan perasaanku sendiri. Aku mencintaimu.”


Rabu, 11 September 2013

WAH, TAMBAH FOLLOWER!

Assalamu'alaikum, Sahabat ....

Apa kabarnya?
Setelah beberapa bulan nggak ngeblog, rindu juga ngisi blog ini.
Pada 20 Oktober 2012 kemarin aku mendapatkan musibah, adik laki-lakiku wafat di usia 27 tahun. Masih muda, kan? Lagi ganteng-gantengnya. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosanya, menghapus segala kesalahannya,  di lapangkan dan diterangkan kuburnya, dijauhkan dari siksa kubur dan siksa neraka,diangkat derajatnya dan kelak surga menjadi tempat tinggalnya. Mohon doanya ya, Sahabat....

Lalu,pada bulan Februari 2013, aku menjalani operasi Sinusitis, alhamdulillah hanya operasi kecil. Tiga bulan berikutnya, Sherly, adik perempuanku kena DBD, alhamdulillah sekarang sudah sehat wal afiat. Seminggu setelahnya Ibuku opname juga karena asam lambungnya naik, alhamdulillah sekarang juga sudah sehat.

Alhamdulillah, sekarang keadaan kami sudah baik-baik saja. Saatnya melanjutkan ngeblog. Lihat-lihat dasbor, eh sudah tambah follower, sekarang jadi dua.



Dua! Dikit ya? Hehehe. Itu aja aku sudah senangnya bukan main. Berarti tambah tanggung jawab, kan? Berarti harus tetap posting yang bermanfaat, karena para Follower itu berhak mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dari apa yang aku tulis.

Sekian dulu lah, ya.
Met ngeblog ya, Sahabat.
Wassalam.
:)