Rabu, 17 Januari 2018

Antara Angkot, Becak dan Ojek Online

Assalamualaikum

#tantangan_ngeblog_17Januari2018

Hola-hola semuanya. Hihihi.

Akhir tahun 2017 kemarin, tepatnya 13 Desember 2017,  di Medan terjadi demonstrasi supir angkot. Nggak main-main dan nggak tanggung-tanggung, seluruh angkot di kota Medan nggak ada satu pun yang beroperasi.

Kacau? Jelas! Kacau kali lah pokoknya. Sampai polisi ikut mengerahkan mobilnya untuk mengangkut masyarakat yang hendak berangkat sekolah dan mau kerja.

Kenapa mereka demonstrasi? Tak lain dan tak bukan adalah karena transportasi online, baik Go-jek, Grab maupun Uber.

Kalau menurut pandanganku yang orang awam ini, demonstrasi itu tidak bisa disalahkan juga tidak pula bisa dibenarkan. Mengapa?

Sebab menurutku setiap jenis transportasi itu punya kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Aku adalah pelanggan setia angkot sejak awal masuk SMP tahun 1998, sampai sekarang udah bekerja tahun 2018, aku masih mengandalkan angkot sebagai transportasi utama.

Kalau becak, kadang-kadang aja kalau lagi kepepet, karena ongkosnya mehong boook! 😁😁😁 Apalagi kalau udah malam atau hujan, oooi makjang! Suka-suka hati tukang becaknya aja naikkan ongkos, kadang-kadang nggak masuk di akalku. Mereka kayak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan gitu. Eh, tapi nggak semuanya begitu. Ada juga aku nemu penarik becak yang tidak neko-neko, mau bagaimana pun situasinya dia tetap pasang tarif sewajarnya. Nah untuk yang ini, malah aku yang sering nambahin ongkosnya tanpa diminta.

Dengan munculnya transportasi online, sejujurnya aku benar-benar terbantu. Misal dari rumahku ke Universitas Negeri Medan, nggak ada angkot yang sekali jalan ke sana. Harus dua kali naik angkot yang berbeda dan jalurnya itu adalah jalur macet. Apalagi pagi jam berangkat kerja dan sore saat pulang kerja, alamaaak! Stres nungguin macetnya udah sama kayak stres nunggu jodoh yang nggak datang-datang. #mblo, mblo, derita lo itu mah!

Nah, si Adek yang kuliah di universitas itu pun lebih sering pakai Go-jek. Dari segi ongkos memang sedikit lebih mahal, tapi dari segi kecepatan dan kelancaran, tentu Go-jek yang lebih unggul karena bisa memilih jalur yang lancar dan cepat agar sampai ke tujuan tepat waktu.

Bukannya aku membela ojek online yaaa. Kan tadi udah kubilang, sampai sekarang aku masih tetap naik angkot ke tempat kerja. Hanya saja di beberapa situasi memang ojek online lebih dibutuhkan dibanding angkot dan becak. Lagi pula tarif ojek online juga nggak bisa sesuka hati driver mengubahnya, ada kebijakan yang ditetapkan oleh perusahaan.

Angkot juga demikian, ada Organda yang menentukan tarif angkutan. Tapi yang aku kesalnya, setiap naik harga BBM pasti tarif angkot juga langsung naik. Giliran harga BBN turun (waktu Pak SBY masih jadi presiden, BBM turun harga sampai 3 kali) eh, tarif angkot nggak pernah turun. Ck! Alasan yang diberikan para supir angkot adalah: harga sparepart nggak ada turun. Lah, emang tiap hari tuh angkot-angkot ganti sparepart kayak ngisi BBM tiap hari? Enggak kan! Ck! Kayak mana harga sparepart mau turun, kalau ongkos transportasi sama sekali nggak turun. Bukan hanya masalah sparepart, semua harga barang pasti nggak bakalan turun kalau biaya transportasi tidak mengalami penurunan. 'Tul nggak sih?

Gitu sih menurutku. Menurut Sahabat bagaimana?


Wassalamualaikum
😊😊😊

0 komentar:

Posting Komentar